Senin, 18 November 2013

Makalah Kesastraan#

BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai serta makna yang terkandung dalam sastra. Sebaliknya, penelitian terhadap sastra baru dimulai sesudah orang bertanya apa dan dimana nilai dan makna karya sastra yang dihadapinya. Biasanya mereka berusaha menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan apa hakikat sastra. Sastra sebagai ungkapan Baku dari apa yang disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang menarik minat secara langsung.
Pada hakikatnya karya sastra adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1984: 22) yang mengatakan, bahwa ”Usaha lain untuk mendapatkan batasan sastra sebagai suatu gejala umum yaitu dengan mendekati dari namanya meskipun biasanya batasan itu tidak sempurna karena batasan itu harus diperluas dan diperketat apabila gejala itu akan dibicarakan secara ilmiah. Namun manfaat tinjauan dari pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak cukup memadai”.
Kalau kita flash back beberapa tahun yang silam Horatius penyair besar romawi (65-8 SM) berpandangan bahwa karya sastra harus bertujuan dan berfungsi utile (bermanfaat) dan dulce (nikmat). Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur. Mungkin juga karya sastra itu mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, tetapi bagaimanapun pembaca masih bisa menarik pelajaran darinya sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan gaya bahasanya.
Dewasa ini, dimana-mana dapat disaksikan percampuran unsur-unsur kebudayaan sebagai pola kehidupan suatu masyarakat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya alat komunikasi yang canggih dan modern, agaknya jarak tidak lagi merupakan halangan bagi terjadinnaya proses komunikasi. Lebih lanjut keterbukaan itu menyebabkan terjadinya pergeseran tata nilai suatu masyarakat atau bangsa. Begitu juga dengan perkembangan karya sastra terus melaju mengikuti arus globalisasi dan beragam budaya masyarakat pada zamannya, sehingga gejala-gejala sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi dalam masyarakat dapat diungkapkan dan diimajinasikan dalam suatu karya sastra.
Jelaslah bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Lewat sastra dapat diketahui pandangan suatu masyarakat, sastra juga mewakili kehidupan dalam arti kenyataan sosial (Rene Wellek dan Austinn Warren, 1995: 15). Sehubungan dengan pandangan tersebut, maka kaitan  antara sastra dengan masyarakat inilah, sebenarnya yang menjadi dasar timbulnya masalah apresiasi sastra itu (Nafron Hasyim, 1987: 57). Berpedoman pada apresiasi yang menjadi sandaran dalam menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh, sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan perasaan dan pikiran positif terhadap karya sastra.
Termasuk juga penelitian ini sebagai alternatif untuk mengkaji sastra dari segi aspek budaya tanpa melupakan aspek sosialnya. Selanjutnya dimaksudkan untuk mengungkapkan masalah-masalah kebudayaan masyarakat yang melahirkan perbedaan ideologi dikalangan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang mendorong semangat peneliti untuk menjadikan masalah tersebut sebagai objek kajian ini, serta berusaha menyingkapi nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya.
Novel yang merupakan bagian dari karya sastra yang melukiskan berbagai macam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, tentunya harus ada bentuk apresiasi dari penikmat dan masyarakat sastra terhadap karya sastra yang telah dihasilkan oleh para sastrawan. Sebagai salah satu bentuk perhatian terhadap karya sastra (novel), peneliti tertarik untuk mengkaji/menganalisis novel yang berjudul “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.
Novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni merupakan novel kontemporer yang isinya melukiskan tentang kehidupan seorang santri muda dari kalangan rakyat biasa yang miskin, bukan keturunan orang kaya atau terpandang. Namanya Haedar Mubarrok (Habib Haedar), ia sangat cerdas dan berbakat, baik di kalangan sesama santri maupun di kalangan pengurus pondok tempat dia menuntut ilmu agama (Pesantren). Kecerdasannya melebihi teman-teman sesama santri di pondok, dengan kecerdasannya ia mampu merubah namanya menjadi luar biasa.
Nama aslinya adalah Haedar Mubarok menjadi Habib Haedar Mubarrok Assegaf. Sejarah Habib di kalangan pesantren tidaklah asing, seorang yang bernama Habib berarti orang tersebut memiliki silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad SAW., Ia harus dihormati dan ditaati  tidak boleh dibantah walaupun yang diperintah atau dikerjakan itu salah. Hal inilah yang menjadi dasar berpijak, mengapa Haedar bertindak dan berprilaku semena-mena dilingkungan pondok, tanpa mengindahkan peraturan yang telah di sepakati. Berbagai penilaian dan persepsi masyarakat terhadap Habib Haedar pun bermunculan, apakah dia benar seorang Habib atau tidak? Ternyata  setelah diidentifikasi dia bukanlah seorang Habib, akan tetapi Ia adalah Habib palsu. Kehidupan pergaulan Habaib yang eksklusif tidak membuat Habib Haedar menutup diri kepada akhwal (kelompok non Habaib) Pergaulannya yang luas dengan santri biasa, Gus, Kyai dan Habaib di jawa membuat dirinya bersinar bagai mutiara, hingga Ia dipertemukan dengan Ummi Layla Al-Jufri yang cantik menawan.
Novel ini isinya melukiskan adanya pengaruh budaya luar yang dibawa ke dalam lingkungan pondok pesantren. Berdasarkan pertimbangan di atas maka penulis memutuskan untuk mengkaji/menganalisis novel yang berjudul “Habib Palsu Tersandunga Cinta” dari segi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang dalam hal ini fokus kajiannya pada aspek budaya.
1.2      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.            Bagaimanakah struktur intrinsik yang membentuk novel “Habib Palsu Tersandung Cinta karya”
Ubay Baequni?
2.            Bagaimanakah aspek budaya yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta”
karya Ubay Baequni?
1.3      Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1    Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.            Untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang membentuk novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.
2.            Untuk mengetaui aspek budaya yang terdapat pada novel “Habib Pulsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.
1.3.2    Manfaat Penelitian
A.            Manfaat Teoritis
Adapun manfaat secara teoritis adalah sebagai berikut.
1.            Mendeskripsikan struktur yang membentuk novel “Habib Pulsu    Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni
2.            Mendeskripsikan nilai budaya masyarakat yang terdapat dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni
B.            Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan sebagai berikut.
1.            Dapat menarik perhatian peneliti lain untuk mengadakan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang masalah yang berhubungan dengan kebudayaan.
2.            Sebagai masukan kepada pihak terkait untuk mengkaji lebih jauh tentang novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni.
3.            Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan oleh para peneliti berikutnya dalam mengkaji sebuah karya sastra.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1      Konsep Dasar
Karya sastra melalui pendekatan struktural seperti yang dikatakan Cuddon, keritik objektif berarti kritik yang menekankan pada struktur karya sastra itu sendiri dengan kemungkinan membebaskan dari dunia perang (1979:662). Selanjutnya bahwa kritik obyektif merupakan kritik yang menempatkan karya sastra  sebagai suatu yang mandiri, otonom dan punya dunia sendiri, kajiannya lebih intrinsik, mengkaji hal-hal yang ada dalam karya sastra itu sendiri (Abraham dalam Esten, 1987: 13)
Karya sastra yang bersifat otonom dengan koherensi yang bersifat intern adalah suatu totalitas antara unsur-unsur yang berkaitan erat antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari sisi intrinsik karya sastra, yaitu: tema, latar, (setting), perwatakan atau penokohan, alur/plot, sudut pandang, gaya bercerita atau berbahasa dan suspense. Dengan memperhatikan unsur-unsur karya satra tersebut dapat dikatakan bahwa pendekatan struktur berarti menganalisis karya sastra dengan mengungkapkan unsur-unsur yang ada didalamnya, yaitu unsur-unsur yang membina kebulatan struktur. Dalam karya sastra, juga terkandung nilai-nilai. Arti kata nilai adalah harga, tafsiran dan angka (Anda Sontoso, 1990: 264). Kontjaraningrat (1984:25) mengatakan, bahwa nilai itu adalah tingkat utama ideal bagi kehidupan manusia. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, selain itu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu sistem nilai dalam sastra adalah unsur-unsur yang penting dalam kehidupan manusia tentang sisi positif dan negatif dalam karya sastra tersebut.
Pengertian nilai merupakan unsur yang baik dan buruknya sesuatu yang dapat ditafsirkan oleh karya sastra tentang nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri sehingga akan dapat diambil suatu kesimpulan dari unsur nilai tersebut (Partanto1990: 321). Nilai dalam sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur yang ada dalam cerita tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan unsur yang ada di dalamnya.
Dalam tulisan ini adalah suatu tafsiran tentang nilai-nilai yang positif dan negatif yang teradapat dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya  Ubay Baequni. Perbedaan novel dengan prosa. Novel adalah cerita fiksi yang melukiskan perbuatan-perbuatan dan pengalaman yang baik secara lahir dan bathin sesuai dengan wataknya dalam keadaan tertentu. Sedangkan prosa adalah bagian kecil dari novel.
2.2      Teori Struktur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan, bahwa struktur berarti bagaimana sesuatu disusun atau rangkai (Poerwadarminta, 1983: 965). Analisis struktural merupakan suatu langkah di dalam memahami makna keseluruhan karya sastra yang dibangun atas makna-makna yang pembentukannya seperti yang dikemukakan oleh A. teeuw, bahwa analisis struktural merupakan langkah awal pekerjaan pendahuluan bagi para analisis sastra.
Analisis struktural karya sastra dalam hal ini novel yaitu dengan menganalisis novel secara keseluruhan dalam sebuah kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan unsur-unsur novel itu saling berhubungan erat dan saling menentukan maknanya. Dengan dianalisis secara keseluruhan dan kaitannya yang erat, maka novel dapat ditangkap dan difahami seutuhnya. Untuk memahami makna secara keseluruhan sangatlah penting novel itu dianalisis secara struktural.
Anlisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur bahwa unsur-unsur novel itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya, sebuah unsur tiadak mempunyai makna dengan sendirinya, terlepas dari unsur-unsur lainnya. Disamping itu, karna novel merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotik (Prodopo, 1997: 118).
Unsur-unsur intrinsik novel yaitu sebagai berikut.
2.2.1    Tema
Pada umumnya setiap cerita fiksi mengandung suatu pokok persoalan (objek) yang hendak disampaikan dan membahas mengenai tema cerita merupakan hal yang sangat mendasar, karena membicarakan masalah prilaku atau tokoh dari suatu cerita tidaklah berhasil tanpa menyatakan tema. Seperti yang telah dikemukakan, bahwa cerita dari unsur yang saling berhubungan secara hidup. Masing-masing unsur juga tersurat unsur-unsur yang lain, dan juga terdapat dalam jalan cerita yang mengacu pada akhir cerita yang bermakna. Sehubungan dengan masalah tema, Yakub Sumarjo mengemukakan sebagai berikut:
“Tema adalah pokok pembicaraan di dalam sebuah cerita. Cerita bukan hanya berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu. Pengalaman yang harus dibeberkan dalam sebuah cerita harus mempunyai permasalahan” (1984: 57).
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan, tema adalah pokok permasalahan yang tersusun di dalam sebuah fiksi, merupakan sebuah ide yang penting dari interpretasi manusia.
2.2.2    Latar (setting)
Latar atau setting yang merupakan salah satu unsur cerita yang juga penting karena dengan adanya latar, gambaran mengenai kejadian atau peristiwa akan menjadi lebih kongkrit (Sumarjo, 1986: 58). Latar atau setting di sebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175) dalam Nugiantoro, (1994: 216).
Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah giografis, latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaiatan dengan kehidupan kemasyarakatan (sayuti, 2001:127). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa latar adalah suatu gambaran tempat, waktu, dan lingkungan sosial peristiwa itu terjadi.
2.2.3    Perwatakan atau Penokohan
Membaca sebuah cerita sastra yang baik, kemungkinan besar akan menangkap sejumlah hal yang berbeda tingkatannya. Secara sederhana dapat ditemukan karakter tokoh yang menyenangkan sebagai satu kesatuan  yang seolah-olah  menjadi kenyataan hidup, seperti humor, kebijakan cita-cita dan sejumlah keinginan  yang bermanfaat. Kemungkinan juga akan ditemukan stimulasi ketautan, keragu-raguan bahkan dapat menangkap kepribadian penulis cerita tersebut. Hal ini dapat ditemukan, karena adanya fungsi tokoh dalam cerita yang memberikan gambaran tentang perwatakan atau karakter manusia yang hidup dalam hayalan pengarang. Masalah yang perlu dibicarakan sekarang adalah bagaimana pengaranng menampilkan karakter tokoh dalam cerita.
Dalam karya fiksi, pengarang menampilkan karakter tokohnya dengan teknik langsung dan tidak langsung. Pengarang menampilkan karakter tokoh dalam cerita konsisten dengan menggunakan teknik langsung, namun demikian tentunya tergantung juga pada tujuan cerita dan banyak juga tergantung pada ruang lingkup masalah yang disampaikan. Broks dan Warren mengemukakan, bahwa penampilan karakter dapat dilakukan dengan teknik dramtik melalui dialog dan Kisi/gerak (1959: 169).
Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Saleh Saad sebagai berikut yaitu: “Cara Pemunculan Tokoh: (1) Teknik Analisis (2) Teknik Dramatik. Dalam teknik dramatik, pengarang menggunakan lukisan tempat, dialog menggunakan pikiran pelaku lain, terhadap pelaku utama perbuatan tokoh. Sedangkan dalam teknik analitik pengarang yang langsung menguraikan tokohnya” (1993: 88).
Berdasarkan pendapat di atas, maka teknik yang biasanya digunakan pengarang dalam menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cerita ada tiga (3) teknik antara lain:
a.            Dengan Cara Langsung: pengarang mengembangkan secara langsung dan terperinci, bagaimana tempramen dan watak tokoh tertentu. Pengarang berusaha memberikan analisis yang jelas tentang tampang dan perangai tokoh secara langsung. Oleh karena itu secara pelukisan watak tokoh seperti itu disebut juga cara analitik.
b.            Dengan Cara Tidak Langsung: pengarang menggambarkan watak tokoh cerita tidak dengan menganalisis secara langsung melainkan dengan cara lain atau tidak langsung: 1) Memberikan gambaran tentang keadaan fisik. 2) Dengan melalui percakapan atau dialog antara tokoh dengan tokoh, baik antara tokoh yang bersangkutan dengan tokoh lain maupun antara sesama tokoh lain  tentang dia. Cara ini disebut juga cara dramatik.
c.             Dengan Cara Campuran: pengarang menggunakan cara 1 dan 2 dengan cara bervariasi.
2.2.4    Alur atau plot
Alur atau plot umumnya merupakan pertalian dari kejadian yang gamblang dalam cerita. Unsur ini merupakan hal yang sangat penting, karena didalam memahami hakikat dari sebuah cerita akan dianalisis mana yang menjadi satuan cerita dan mana yang merupakan yang aktual.
Sehubungan dengan masalah alur atau plot ini,  M. Saleh Saad (1990: 80), mengemukakan, bahwa alur adalah sambung-sinambungannya peristiwa berdasarkan sebab-akibat, alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga mengemukakan apa yang akan terjadi. M. Saleh Saad sejalan dengan pendapat  di atas, mengemukakan sebagai berikut:
“Alur atau Plot bukan sekedar urutan dari dari a sampai z saja , melainkan lebih merupakan sebab-akibat antara peritiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya dalam suatu cerita rekaan”.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan, plot atau alur merupakan struktur sambung-sinambungnya aksi atau sederetan peristiwa berdasarkan sebab akibat yang pada umumnya dimulai tahap pemunculan, melalui pertengahan dan dan peralihan pada akhir cerita.
Akhmad Badrun mengemukakan jenis alur sebagai berikut:
a.            Alur lurus (datar), yaitu menceritakan rangkaian kejadian secara kronologis.
b.            Alur sorot balik (flash back)
c.             Alur rapat dan alur renggag (Badrun, 1983: 86)
2.2.5    Sudut Pandang (Point Of View)
Sudut pandang sering juga disebut Poit of view atau pusat pengisahan. Henri Guntur Tarigan (1985) mengemukakan, sebagai berikut: “Poin Of View atau sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam piktif ceritanya, atau pun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya. Sang pengarang seharusnya dapat menjelaskan kepada si pembaca bahwa dia selaku moderator mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungan dengan cerita itu“ (Tarigan, 1985: 81).
Sedangkan berbicara mengenai poin of view berarti membicarakan cara pengarang menyampaikan cerita. Point of view juga merupakan realisasi hubungan yang terdapat antara pengarang dalam alam rekaan ceritanya, dengan pikiran dan perasaan pembaca“ (Badrun, 1983: 91).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan sudut pandang dalam penelitian ini adalah hubungan antara pengarang dengan rekaan ceritanya. Pembagian jenis point of view atau sudut pandang antara lain:
a)            Sudut pandang orang pertama, yang biasanya menggunakan “Aku” gaya ini dapat digunakan oleh orang pertama dan dapat juga digunakan oleh orang pertama sebagai pelaku bawahan.
b)            Sudut pandang peninjau biasanya pengarang menggunakan “Dia” dalam ceritanya.
c)            Sudut pandang campuran antara gaya “Aku” dan “Dia”.
2.2.6      Gaya Bahasa
Yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah cara pengarang memilih, mengatur dan menyajikan susunan kata-kata dalam suatu cerita (Jones, JR, 1968: 86). Jadi, Gaya Bahasa adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan atau efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.
Adapun macam-macam gaya bahasa yaitu sebagai berikut.
a.            Perbandingan (Metapora): Membandingkan sesuatu (manusia) dengan yang lain atau hewan untuk menunjukkan persamaan sikap perilakunya, dengan cara memindahkan sifat-sifatnya.
b.            Personofikasi: Membandingkan atau melukiskan suatu benda dengan memberikannya sifat-sifat manusia, sehingga-pelukisan menjadi hidup
c.             Hiperbola: melukiskan suatu benda, hal atau peristiwa dengan cara/gaya yang berlebih-lebihan.
d.            Simbolik: gaya yang melukiskan sesuatu dengan memakai lambang atau simbol-simbol tertentu.
e.            Asosiasi: pelukisan suatu keadaan, pengertian, dan lain-lain dengan atau mengasosiasikannya pada waktu yang bersamaan maksud dan sifat-sifatnya.
f.             Litotes: Gaya bahasa yang bermaksud merendahkan diri dengan melukiskan hal yang kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
g.            Paradoks: Gaya bahasa yang menggambarkan suatu keadaan dengan kata-kata yang berlawanan maksudnya.
h.            Pleonisme: Gaya bahasa yang suatu menggambarkan hal dengan kata-kata yang berlebihan.
2.3      Antropologi Sastra
Salah satu faktor yang mendorong perkembanagan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Kassirer (1956: 44), bahwa manusia sebagai animal syimbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal ratioanale. Menurut Cassirer, yang kemudian juga dimamfaatkan dalam sosiologi intraksi simbolik meadean (Ritzer Dan Dauglas, 2004: 272), sistem simbol mendahului sistem berpikir sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol.
Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran juga mesti dikonstruksi, sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Disatu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang mengemungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.
Dipihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (dalam Satra Pretedja, 1982: ix), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu:
a.            Hubungan manusia dengan alam sekitar
b.            Hubumgan manusia dengan manusia yang lain
c.             Hubungan manusia denagn struktur dan institusi sosial.
d.            Hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu
e.            Manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik
f.             Manusia dan kesadaran relegius atau para relegius.
Secara definitif Antropologi Sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Denga melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu: antropologi fisik dan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.
2.4      Kebudayaan, Masyarakat dan Sastra
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai suatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan suatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara budaya dengan masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri menurut pandangan antropolog adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yan menentukan suatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu kesatuan, dimana sistem sosial itu adalah bagian dari kebudayaan. Singkatnya kebudayaan itu dikatakan sebagai cara hidup suatu masyarakat atau bagaimana suatu masyarakat itu mengatur hidupnya.
Kebudayaan itu memiliki tiga unsur, yaitu sebagai berikut.
a.            Unsur Sistem Sosial: sistem ini terdiri dari pada sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan dan sistem undang-undang. Hal ini dikenal dengan istilah Institusi Sosial, yaitu cara manusia hidup berkelompok mengatur hubungan antar yang satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.
b.            Sistem Nilai dan Ide: yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga falsafah hidup masyarakat itu sendiri.
c.             Peralatan Budaya: yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan bermasyarakat.
Kesusestraan (novel) sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan tersebut di atas.
1.            Kesesustraan akan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam dalam masayarakat.
2.            Mencerminkan bagaimana sistem ide dan nilai yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat.
3.            Mencerminkan mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Selain unsur kebudayaan, perlu juga disinggung sifat kebudayaan yang dirumuskan oleh para antropolog yaitu:
1.            Kebudayaan itu merupakan suatu yang selalu berkesinambungan, suatu yang diwariskan, suatu yang saling mempengaruhi, suatu yang selalu berubah.
2.            Kebudayaan itu merupakan suatu sistem lambang artinya manusia memiliki kebolehan berkomunikasi dengan menggunakan lambang-lambang. Bahasa itu merupakan sistem lambang.
3.            Kebudayaan itu relatif artinya setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, memiliki ciri khas masing-masing yang dapat membedakannya dengan kebudayaan yang lain.
Bila ciri kebudayaan itu diletakkan pada sastra maka dapat dikaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka dapat dinyatakan bahwa nilai suatu sastra pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Demikian pula halnya bila konsep kebudayaan diletakkan pada sastra, maka sastra sebagai ekspresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan kehidupan pada masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara masyarakat, kebudayaan dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat, yang satu dengan yang lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan dan menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
2.5      Biografi Pengarang
Habib Palsu Tersandung Cinta merupakan salah satu judul novel yang ditulis oleh Ubay Baequni yang pertama kali dan Cetakan I tahun 2010. Ubay Baequni merupakan sastrawan yang terkenal tahun di era globalisasi sekarang ini, karna karya-karyanya yang unik dan menarik seperti Puisi, Cerpen dan Novel, pada tahun 2005 pernah mendapatkan piagam penghargaan dari MURI memecahkan Rekor MURI sebagai pembaca puisi tunggal terlama  48 Jam Nonstop  dia termasuk juga seniman karna pernah memenangkan juara II lomba seni lukis kaligrafi arsitektur yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universiatas Muhammadiyah Jakarta tahun 2004. Karya kalikaturnya tersebar di Majalah LaDuni, tabloid LINTAS ( Media Antar Budaya) Jakarta.
BAB III
METOODE PENELITIAN
3.1      Objek Penelitiann
Menurut Sugiyono (2000:14), data penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kalimat, kata atau gambar. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan (skoring). Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah jenis data kualitatif, berupa kata-kata atau gambar. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah  strukktur dan nilai dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya  Ubay Baequni.
3.2      Data dan Sumber Data
3.2.1    Data
Data dalam penelitian ini adalah struktur dan nilai yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya  Ubay Baequni.
3.2.2    Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah teks atau novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni. Adapun identittas novel sebagai berikut:
Judu novel                          :  Habib Palsu Tersandung Cinta
Pengarang                          :  Ubay Baequni
Kulit Depan                         :  Biru Kecoklat-coklatan
Penerbit                              :  Pinus Book Publisher
Cetakan                               :  Pertama
Tahun                                   :  2010
Jumlah Halaman               :  234
3.3      Metode Pengumpulan Data
Nazir membedakan antara metode dengan teknik dalam penelitian. Metode penelitian membantu peneliti dalam menentukan urutan kerja bagaimana penelitian dilakuakan, sedangkan teknik adalah alat-alat pengukur apa yang diperlukan dalam melakukan suatu penelitian (1985: 51). Mengingat jenis penilitian ini, yaitu studi pusataka maka data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumenter dan metode telaah.
3.3.1    Metode Dokumenter
Metode dokumentar adalah suatu cara atau sistem pemberian/pengumpulan, pemilihan, pengolahan dan penyampaian informasi berdasarkan keterangan-keterangan atau kutipan atau referensi lain yang dapat disajikan terhadap berbagai hal dalam penelitian dan pengkajian data selanjutnya.
Melalui metode ini data-data yang termuat dalam novel dikumpulkan sebagai perbendaharaan data untuk dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan didalam melakukan pengkajian, penelaahan untuk selanjutnya data yang sudah terkumpul atau teridentfikasi itu dapat di analisis.
3.3.2    Metode Telaah
Metode telaah data yaitu suatu cara yang tercantum dan terfikir baik-baik atau cara kerja yang bersistem yang di terapkan untuk memudahkan melaksanakan penyelidikan, pengkajian, pemeriksaan, penelitian dengan maksud untuk memperoleh keterangan tentang bahasa; struktur cerpen dan keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan).
3.4      Metode Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini, yakni penelitian kualitatif yang dilakukan dengan mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsef yang sedang dikaji secara khusus (Atar Semi, 1993). Maka metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualiatatif yaitu untuk menguraikan atau menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat.
Langkah-langkah dalam mengnalisis data:
3.4.1    Identifikasi
Untuk menemukan data, penulis mengumpulkan, menentukan atau menetapkan bagian keadaan pristiwa-pristiwa, hubungan dan keterkaitan antar berbagai unsur novel yang secara bersama-sama meng hasilkan sebuah keutuhan. Dengan demikian dapat mengenal atau memahami secara keseluruhan isi cerita novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni”.
3.4.2    Klasifikasi
Dalam penentuan untuk melengkapi perbendaharaan data ditentukan/diklasifikasikan tokoh-tokoh,penokohan bagimana yang palinng  menonjol atau peristiwa- peristiwa apa yang paling ditonjolkan oleh pengarang. Sedang dari segi makna; mengapa tokoh, watak, tema atau bentuk (struktur) novel itu harus di tampilkan oleh pengarang.
3.4.3    Evaluasi
Sebelum evaluasi, penulis memaparkan atau menggambarkan secara jelas dan terinci bagaimana fungsi masing- masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana antar unsur itu sehingga secara bersama-sama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu.
3.4.4    Menganalisis
Langkah selanjutnya adalah menganalisis novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya  Ubay Baequni sebagai berikut.
a.            Pengertian novel
b.            Isi cerita secara totalitas
c.             Mendata atau unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung
Cinta” karya Ubay Baequni: misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, perwatakan dan lain-lain.
d.            Mendata  penggunaan bahasa dalam novel
e.            Bagaimana hubungan antar unsur itu
f.             Sumbagan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik
g.            Fungsi dan makna keseluruhan yang ingin di capai dalam kesatuan unsur ekstrinsik.
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
4.1      Penyajian Data
Judu novel                                      :   Habib Palsu Tersandung Cinta
Pengarang                                      :   Ubay Baequni
Kulit Depan                                     :   Biru Kecoklat-coklatan
Penerbit                                          :   Pinus Book Publisher
Cetakan                                           :   Pertama
Tahun                                               :   2010
Jumlah Halaman                           :   234
Sinopsis Novel
Habib Palsu Tersandung Cinta Karya Ubay Baequni
Habib Haedar Mubarrok Bin Abdurrrahman Bin Abdullah Bin Alwi  Assegaf adalah santri muda yang sangat di istimewakan di lingkungan pesantren tempat mereka nyantri. Maklum saja predikat Gus atau Habib dipondok memang  dipandang berbeda dengan yang lainnya. Maksudnya Seorang yang dipanggil dengan sebutan Gus biasanya anak Kyai yang punya pesantren besar dan berpengaruh. Sedangkan Habib adalah seorang yang masih ada hubungan darah dengan baginda yang mulia Muhammad SAW. Jadi wajar saja kalau setiap santri yang dekat dengan Habib Haedar seperti Abdul Ghani, Gus Fauzi, dan Habib Umar serta sahabat lainnya ikut di istemewakan di lingkungan pondok tempat mereka nyantri.
Disamping itu juga Habib Haedar termasuk salah satu santri yang cerdas di pesantren. Hal ini terbukti ketika Ustadz Imran menyuruh para santri menghafal kitab Al-fiyah yang syairnya terdiri dari seribu bait. Dengan lancar dan fasihnya Habib Haedar melantunkan bait-bait syair yang dihafalnya. Tidaklah heran seandainya Abdul Ghani teman akrabnya tiada henti-hentinya mengagumi Habib Haedar, Begitu pula santri yang lainnya. Bahkan ustadz dan pimpinan pondok pun terkagum-kagum padanya.
Habib haedar memiliki kebisaan unik untuk mengisi waktu luang bersama teman-temannya. Nimbrung (berkumpul) setiap hari diwarung koprasi pondok, apabila aktivitas pondok telah selesai dilaksanakan. Ngobrol-ngobrol sambil nubruk (minum teh dengan gula batu) dan yedet (merokok)  hampir setiap hari digelar dikonplek pondok, biasanya habis isya sampai larut malam.begitulah hari-hari berikutnya.
Hari semakin beranjak remaja,bulan dan tahun pun semakain dewasa. Tanpa terasa hari-hari dipondok semakin mendekati ujung usia, tiba saatnya ujian madrasah. Para santri semakin giat menyiapkan hapalan ataupun materi yang akan ditempuh bersama pad saat ujian berlansung. Pada saat seperti ini habib haedar dan teman-temannya jarang berkumpul, paling seminggu sekali mereka bertemu.
Kini tiba saatnya ujian berlangsung, semua santri serentak melebur dalam soal-soal yang diberikan asatizd. Namanya juga ujian dan otak manusia berbeda-beda, ada saja diantara santri yang tidak bias menjawab soal-soal yang diberikan.namun habib haedar tak pernah merasa kesulitan dalam menjawab soal, baginya soal yang diberikan masih standar.
Hari demi hari telah berlalu, maka sampailah para santri pada penghujung ujian. Selesailah kepenatan para santri membedah dan menguras isi otak. Sudah waktunya santri bersantai dan menunggu hasill ujian. Sambil menuggu hasil ujian para santri dihibur dengan acara  perlombaan seperti lomba volly, sepak bola, catur, cerdas cermat, pidato dan pentas seni. Semuanya digelar ala santr. Minggu selanjutnya pengumuman hasil ujian pun dipajang dipapan Aula dan liburan pun segera dimulai. Kemudian setelah itu para santri boyongan kerumah masing-masing dan mereka bisa beristirahat lebih tenang.
Waktu liburan sudah genap, berarti liburan ini telah memenuhi syarat untuk para santri kembali kepondok. Abdul Ghani teman akrab Habib Haedar segera kebali kepondok dan rupanya kegiatan pondok sudah kembali normal seperti biasa. Jadwal-jadwal kegiatan pengajian terpanpang didepan kantor pusat. Bulan demi bulan menapaki waktu dipondok, tak terasa sudah hampir empat bulan berjalan. Kini ta’zir masal yang digelar setiap malam jumat didepan masjid pondok menghebohkan suasana dan  menebarkan ketegangan para santri. Pasalnya malam jumat kali ini yang mendapatkan Ta’zir bukan hanya santri biasa, akan tetapi ada dua santri dari golongan Habib. Padahal sudah menjadi rahasia umum kalau Habib dipondok kebal ta’zir. Biasanya kalau ada salah satu santri dari kalangan Gus atau Habib yang melanggar aturan pondok, langsung ditangani oleh Mbah Yai selaku pinpinan pondok. Tapi kali ini lain. Prosesi penta’ziran ditangani oleh para Asatizd. Mereka sudah jenuh dengan fenomena monoton itu. Bagi mereka yang melanggar hukum (aturan pondok) akan kena sanksi, siapapun orangnya tak terkecuali para Habib dipondok.
Satu-persatu para santri yang melanggar maju berbaris, lima seksi keamanan siap mengeksekusi para pelanggar. Salah satunya memegang guntig yang siap memangkas rambut-rambut mereka. Kepala pondok maju kedepan memberikan arahan dan nasihat kepada hadirin dan para santri yang terbukti melanggar.
“Ini adalah pelajaran bagi kalian, kami berharap kalian bias mengambil hikmah dari semuanya. Baik yang melaggar ataupun tidak, yang di depan kalian adalah contoh prilaku santri yang tidak semestinya ditiru.” Selanjutnya eksekusipun dimulai, satu persatu rambut mereka yang melanggar dipotong asal-asalan. Kini tiba giliran dua Habib, sesaat sebelum dipotong terdengar teriakan suara dari kerumunan santri, menghentikan sejenak proses eksekusi. “Tunggu…!” suara itu melengking ditengah hiruk-pikuk keramaian.
“Apakah kalian akan menyakiti Nabi, dengan menghukum saudaraku ini, Habib Hasan dan Habib Hilmy!” Gus Haedar merebut gunting dari tangan ustadz Faisol yang menjadi eksekutor.
“Ana Haedar Mubarrok menjamin pada malam ini tidak ada hukum gundul untuk dua saudaraku.”
Ketegasan suaranya mencengakram suasana. Dihadapan para ustadz dan santri, habib haedar memaparkan berbagai dalil dan hadis tentang etika penghormatan terhadap Habaib. Para ustadz dan kepala pondok pun tak berani membantah perkataan Habib Haedar.
Minggu selanjutnya setelah kejadian tersebut, nama Habib Haedar harum dan bersinar dikalangan Habaib dan para santri, bahkan kejadian malam itu terdengar sampai ke telinga pinpinan pondok. Sang pinpinan pondok pun merasakan suatu yang sangat berbeda pada santri yang satu ini. Kebanggaan terhadap habib haedar sangat luar biasa dimata sang pinpinan. Habib Haedar patut menjadi tauladan bagi santri yang lainnya.
Kehidupan Habib Haedar yang begitu ekslusif membuat dirinya bersinar bagai mutiara. Tidak jarang para Habib datang ketempatnya hanya untuk berdiskusi dan meminta pendapat kepadanya tentang masalah yang sedang dihadapinya. Melihat berbagai masalah yang terjadi dipesantren habib haedar berkeinginan untuk mendirikan Jama’ah Habaib. Dan ternyata setelah sampaikan kepada para Habib dipondok banyak yang setuju terhadap idenya. Selanjutnya rapat pun digelar dengan mengundang seluruh Habib muda dipondok yang terdiri dari berbagi golongan diantaranya: golongan bin Yahya, Al-Kaf, Al-Haddad, Al-Idrus, Asseggaf, Alwy dan yang lainnya. Dan hasil rapat memilih Habib Haedar sebagai katuanya.
Setelah berdirinya Jama’ah Habaib, Habib Haedar semakin berwibawa dan terpandang dimata Habaib muda dipondok. Prioritas utama Program jama’ ini adalah pengajian internal Habaib, diskusi dan silaturrahi antar golongan. Program ini oleh para Habib tidak kalah pentingnya dengan program pesantren yang sudah ada sebelumnya. Hingga pada akhirnya kelompok ini dikenal didalam maupun diluar pesantren.
Seiring dengan perjalanan waktu, pamor Habib Haedar terus berjaya. Namun ketika kejayaan itu datang badai masalah pun melanda. Habib Haedar diisukan diam-diam menjalin hubungan asmara dengan Umi Layla Al-Jufri yang cantik dan menawan, dambaan setiap Habib muda yang pernah mengenalnya. Akan tetapi setiap kali kabar itu disampaikan pada Habib Haedar, dia tidak pernah konflin dengan terhadap berita yang didengarnya. Bahkan, Habib Haedar menanggafi biasa-biasa saja.
“Wajar akhi..biarkan saja mereka beranggapan seeperti itu. Gak usah dipikirkan, yang penting kan tidak melampaui batas. Toh semuanya masih mengikuti aturan. Demikian penjelasan Habib Haedar kepada teman setianya Abdul Ghani.
Disamping itu juga isu miring tentang Habib Haedar yang tidak kalah menariknya Sang Habib sengaja mendirikan Jama’ah Habaib supaya dia bisa dekat dengan Umi Layla Al-Jufri. Begitulah isu yang berkembang di lingkungan pesantren. Namun Habib Haedar tetap tegar menghadapi masalah yang menerpanya. Dengan berjalannya waktu, isu miring tentang Habib Haedar terus berkembang. Kini Habib Haedar diisukan lagi, pernah melamar Umi Layla kerumahnya, akan tetapi dari pihak keluarga Umi Layla menolak lamaran Habib Haedar. Hal itu dilakukan karma nasab Habi Haedar masih diragukan keabsahannya. masyarakat yang mendengar berita tersebut merasa heran. Tidak lama kemudian para pengurus pondok dan orang-orang yang tidak sependapat dengan Habib Haedar membuat tim penyidik. Hal ini dipicu oleh keraguan pengurus pondok terhadap Habib Haedar yang pernah mempermalukan mereka didepan umum dan dia  mengakui bahwa dirinya merupakan bagian dari Habaib. Tim penyidik ini mencari informasi sedalam-dalamnya identitas habib haedar dan keberadaan tempat tinggalnya. Setelah tim penyidik mendapatkan alamat lengkap Habib Haedar yaitu Jl. Kapten Damsur Gg. Cemara no. 36 Surabaya, tim ini kemudian melanjutkan penelusuran ke alamat tersebut. Setelah tim penyidik sampai dirumah Habib Haedar bertemulah mereka dengan kedua orang tuanya.
Kemudian tim penyidik  meminta keterangan kedua orang tua Habib Haedar terkait nasab anaknya itu. Ternyata orang tua Habib Haedar tidak tahu-menahu prihal anaknya yang mengakui dirinya keturunan Habib, yang mereka tahu adalah anaknya bernama Haedar Mubarrok bukan dari keturunan Habib atau orang terpandang. Penyelidikan pun berhenti setelah tim mendapatkan bukti yang bias menguatkan laporannya kepada masyarakat dan pimpinan pondok. Tetapi tak cukup rasanya bila informasi itu masih bersifat abstrak, tim penyidik pun membawa kedua orang tua habib haedar dengan tujuan khalayak umum bisa bertanya langsung kepada mereka agar lebih yakin kalau Habib Haedar itu bukan keturunan Habib.
Sampai di pondok, tim penyidik mengumpulkan para pengurus pondok beberapa perwakilan dari santri golongan Habib termasuk Habib Haedar untuk tanpa mengetahui terlebih dahulu maksud dan tujuan mereka berkumpul, diantara mereka ada juga santri biasa. Di depan umum tim penyidik memaparkan hasil penyelidikannya dengan menjelek-jelekkan nama Habib Haedar dan orang tua Habib Haedar pun membisu tanpa kata.         Habib Haedar telah berbohong  kepada semua orang, dia penipu ulung, dia  menggunakan predikat Habib untuk mendapatkan pengaruh dan dengan mudah melancarkan aksinya untuk mencapai tujuan yang diiginkan.
Tidak terima dengan penjelasan tadi, Habib Haedar pun membela dirinya dan angkat bicara, semua yang disampaikan tadi tidaklah benar adanya, semuanya fitnah. Habib Haedar mencoba meyakinkan khalayak umum kalau dirinya bukanlah seorang pembohong. Tapi apa daya kedua orang tua Habib Haedar angkat bicara kalau apa yang dikatakan oleh tim penyidik itu benar. Habib Haedar pun diam tersipu malu dan menundukkan kepalanya setelah semuanya jelas berangsur-angsur para santri membubarkan diri.
Sekarang teranglah bahwa sepandai-pandainya kita meyimpan bangkai pasti akan tercium baunya. Sehari setelah kejadian itu Habib Haedar pun menghilang dari pondok tanpa sepengetahuan siapapun. Keinginannya untuk mengajak Umi Layla ke pelaminan kandas di tengah jalan. Semua orang tidak tahu dimana dia berada, bahkan Abdul Ghani teman akrabnya pun bingung memikirkannya.
4.2      Analisis struktural novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni
Analisis struktural merupakan suatu langkah di dalam  memahami makna secara keseluruhan karya sastra yang dibangun atas makna-makna yang membentuknya seperti yang dikemukakan oleh A.Teeuw bahwa analisis struktural merupakan langkah awal pekerjaan pendahuluan bagi para analisis sastra
Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya, secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Struktur karya sastra juga mengarah pada pengertian hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi secara bersama-sama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Untuk memahami struktur novel Habib Palsu Tersandung Cinta Karya Ubay Baequni ada baiknya akan dianalisis terlebih dahulu, sehingga apa yang diharapkan oleh pengarag dapat difahami. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Untuk itu, berikut akan dijelaskan secara rinci mengenai unsur-unsur tersebut sebagai berikut.
4.2.1    Tema
Tema  merupakan ide atau pokok permasalahan dalam sebuah cerita. Hal ini sesuai dengan pendapat Yakub Sumarjo, yang mengatakan, bahwa “Tema adalah pokok pembicaraan di dalam sebuah cerita. Cerita bukan hanya berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu. Pengalaman yang harus dibeberkan dalam sebuah cerita harus mempunyai permasalahan” (1984: 57).
Tema pada umumnya terdiri dua bagian, yaitu tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor).
1.            Tema Mayor
Tema mayor merupakan  makna pokok cerita yang menjadi dasar gagasan  utama karya sastra (novel). Berangkat dari teori tersebut di atas, Novel Habib Palsu Tersandung Cinta Karya Ubay Baequni menceritakan tentang kehidupan seorang santri muda dari kalangan rakyat biasa yang miskin, bukan keturunan orang kaya atau terpandang namanya Haedar Mubarrok (Habib Haedar), Namun ia sangat cerdas dan berbakat, baik dikalangan sesama santri maupun dikalangan pengurus pondok tempat dia menuntut ilmu agama (Pesantren).
Kecerdasannya melebihi teman-teman sesama santri di pondok, dengan kecerdasannya ia mampu merubah namanya menjadi luar biasa dan berwibawa, yaitu Haedar Mubarrok bin Abdurrahman bin Abdullah bin Alwy Assegaf sekaligus menjadi sorotan, panutan para Habib dan teman-temannya yang lain. Dengan predikat Habib dan Ketua Habaib yang digelarnya dia bersinar dan berpengaruh dikalangan pesantren tempat dia nyantri.
Namun badai masalah datang menerpa kehidupan haedar ketika akan melamar dambaan hatinya yaitu Umi Layla Al-Jufri yang taat, cantik dan cerdas serta menjadi sorotan utama Habaib muda yang masih lajang. Masalah yang dihadapi diluar dugaan Habib Haedar. Umi Layla yang dicintainya seharusnya menjadi pendamping,  justru berbalik arah tidak mau dipersunting oleh Haedar sebelum dia menjelaskan tentang kebenaran silsilah Nasabnya, kekasihnya itu masih meragukan silsilah nasabnya yang masih kabur.
Ternyata setelah di identifikasi dia bukanlah keturunan Habib tetapi keturunan orang biasa yang hanya memanfaatkan gelar Habib sebagai topeng untuk melancarkan aksinya. Terbongkarnya kepalsuan Haedar pertama kalinya dari pihak keluarga Umi Layla yang curiga dan menemukan kejanggalan atas dirinya. Sehebat-hebatnya orang menyembunyikan bangkai pasti akan tercium pula baunya.
Novel ini mengisahkan tentang penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan gelar demi keuntungan pribadi semata tampa memperdulikan persatuan dan persahabatan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Tunggu…!” suara itu melengking ditengah hiruk pikuk keramaian. Aku sepertinya akrab dengan pemilik suara itu, aku langsung masuk menerobos masuk kebarisan depan. Jadi penasaran siapa gerangan yang menghentikan para ustadz. Semua mata tertuju pada satu sosok di depan yang baru saja melontarkan suara lantang. Ternyata Gus Haedar, yah…tak salah lagi, ia memang Gus Haedar yang kukenal. Sedang apa dia? Dan mau apa dia?
“Apakah kalian akan menyakiti nabi, dengan menghukum saudaraku ini, Habib Hasan dan Habib Hilmy!” Gus Haedar merebut gunting dari tangan Ustazd Faisol, yang menjadi eksekutor. (H.P.T.C, 2010: 79)
Seketika itu para santri dan pengurus pondok tak terkecuali kepala pondok ikut meraskan ketegangan, Ustazd Faisol sebagai eksekutor pun spontan kaget, karena baru pertama kali ada Gus yang berani membatalkan ta’zir pondok dan tak ada orang yang berani membantahnya termasuk kepala pondok membenarkan tindakannya.
“ Lagi-lagi mereka dipusingkan dengan dilema seperti ini. Tapi, satu yang menyakitkan para Ustadz, pertama kalinya mereka dipermalukan didepan banyak santri. Wibawa…men wibawa! Dimana wibawa kita sebagai pengurus pondok. Baru kali ini ada Gus yang berani terang-terangan membentak mereka. Mereka juga sih yang salah. Sebagaian Ustazd introspeksi, kenapa tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu ke Habaib yang dianggap sesepuh”. (H.P.T.C, 2010: 82)
Dari kutipan yang pertama di atas menjelaskan bahwa Habib Haedar membantah penta’ziran yang dilakukan oleh pengurus pondok dengan tegasnya. Pengurus pondok langsung melaksanakan proses penta’ziran tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan, sudah siapkah dia dihukum dan adakah dispensasi hokum bagi para Habib, tindakan pengurus pondok yang berlebihan dalam menta’zir Habib inilah yang di anaggap oleh Haedar salah. Namun Ustazd Faisol  menafik kalau dirinya dan pengurus pondok yang lainya bertindak sewenang-wenang, mereka menganggap apa yang dilakukan pengurus pondok itu wajar, bagi santri manapun kalau melanggar aturan dan tata tertib pondok harus dita’zir tanpa pandang bulu.
Kemudian pada kutipan kedua, menjelaskan bahwa Ustazd Faisol menganggap tindakan Haedarlah yang salah, karena dia telah mempermalukan dirinya dan pengurus pondok yang lainnya di depan banyak santri. Dimana  wibawa pengurus kalau hal ini terus berlanjut dan mau dikemanakan pesantren yang selama ini menjadi sorotan banyak orang hal inilah yang  membuat dirinya harus melakukan sesuatu agar dapat mengembalikan kewibawaannya yang hilang.
Menurut Haedar dirinya tidaklah salah karena hanya membela saudaranya yang sesama Habib dengan menjelaskan akibat yang akan diterima oleh orang yang berani menyakiti atau  menghukum para Habib yaitu mendapatkan kualat seumur hidupnya. Seperti yang di jelaskan oleh para Ulama dan Kyai kalau Habib itu adalah orang yang  diistimewakan dan dihormati karena beliu-beliu itu merupakan keluarga Nabi Muhammmad SAW. Oleh karena itu harus ada suverpisi hukum bagi Kaum Habib.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa tema mayor atau ide pokok yang  mendasari cerita dalam novel ”Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni adalah perjuangan seorag Habaib muda yang cerdas dan berbakat dalam mempertahankan kehormatan, nasab dan cintanya yang berakhir dengan kekecewaan.
2.            Tema Minor
Tema minor merupakan tema yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan atau minor. Tema minor yang ada dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta“ adalah sebagai berikut.
a.            Beragam kegiatan para santri
Pada awal mulanya pesantren difungsikan sebagai tempat para santri mempelajari dan mendalami ilmu agama. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pondok pesantren juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan baik dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa melupakan ekstensinya dalam mensyiarkan agama Islam. Oleh karena itu, pemerintah pada saat sekarang ini telah mengakui secara kelembagaan  bahwa pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat mempelajari ilmu agama, melainkan juga sebagai tempat mempelajari ilmu umum.
Dalam novel Habib Palsu Tersandung Cinta karya Ubay Baequni ini pengarang mengambil setting  disebuah pesantren yang cukup modern. Akan tetapi, para santri tetap harus mempelajari dan mendalami ilmu agama di samping ilmu lainnya. Karena inilah yang menjadi perioritas utama pelajaran di pesantren. Aktivitas pesantren di warnai dengan kegiatan para santri membaca (tadarrus) Al-Quran, wiridan, Barzanji, yang dilaksanakan di Aula Madrasah atau masjid secara berjamaah atau sendirian. Berikut kutipannya:
“Waktu adzan magrib pun berkumandang para santri berbondong-bondong ke masjid, ada yang masih sibuk berwudhu sambil menunggu antrian dan sebagian melapalkan pujian-pujian dimasjid menunggu Mbah Yai datang. Setelah shalat magrib para santri kembali disibukkan dengan tadarus Al-Quran di masjid.” (H.P.T.C, 2010: 28)
Pengetahuan agama sangatlah penting bagi para santri di pesantren sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan dikemudian hari. Di pesantren para santri dituntut untuk mempelajari kitab-kitab Salaf seperti kitab Jurumiyah, Alfiyah, shorof, Akhlakul Banin, Fathul Qorieb dll. Hal ini sesuai dengan kutipan novel di bawah ini.
“para santri masing-masing mengaji pada asatidz sesuai dengan kemampuannya. Mereka berkelompok-kelompok, ada yang di tengah masjid, di serambi, di pinggir bahkan di samping tempat pengimaman. Beragam suara pun tumpang-tindih membahana, ayat-ayat suci Al-Quran melesak keluar dari kubah laksana gemuruh kepak sayap para malaikat.”(H.P.T.P, 2010: 28)
Pada kutipan di atas, para santri di pesantren setiap hari di sibukkan dengan aktivitas keagamaan seperti mengaji dan mempelajari beragam kitab-kitab dari ustadznya masing-masing.
Selanjutnya para santri tidak hanya dituntut untuk mempelajari  kitab tetapi juga menghafal. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Menjelang waktu Isya, sebagian para santri yang telah selesai mengaji Al-Quran menyiapkan diri untuk melaksanakan shalat Isya berjamaah. Seusai shalat Isya, Aku berusaha sekuat  mungkin bisa menghafal Nadham-nadham Alfiyah ini yang nantinya disetorkan setiap santri ba’da isya di kelas masing-masin dibawah pengawasan para ustadz.” (H.T.P.C, 2010:28)
Pada kutipan di atas, pengarang menceritakan kesibukan santri untuk menghafal salah satu kitab yaitu kitab Alfiyah yang terdiri dari ribuan bait syair. Hal ini dimaksudkan agar para santri terbiasa menghafal.
b.            Gus atau Habib dipandang istimewa dipondok.
Gus atau Habib di pondok memang dipandang berbeda dengan santri yang lainnya. Gus biasanya keturunan Kyai yang memiliki pondok pesantren besar dan berpengaruh. Sedangkan Habib adalah seorang yang masih sedarah dengan nabi muhammad SAW. Jadi, wajar saja sekiranya mereka ini mendapat perlakuan yang istimewa di pondok. Dalam novel Habib Palsu Tersandung Cinta karya ubay Baequni diceritakan bahwa setiap malam jum’at di gelar ta’zir masal yang di hadiri pengurus pondok dan para santri.
“Malam jum’at kali ini aku mendengar beberapa santri yang kena ta’zir karna nonton konser group musik DEWA di alun-alun kota, jaraknya lima kilo lebih dari konplek pesantren. Ada sekitar dua puluh santri yang berhasil dijaring pihak keamanan pondok, dan lolos pasti lebih banyak.”(H.P.T.C, 2010: 76)
Pada kutipan di atas, diceritakan bahwa setiap malam jumat diadakan ta’zir massal bagi para santri yang melanggar aturan pondok. Ada sekitar dua puluh santri yang terjaring pihak keamanan pondok. Ada dua diantaranya golongan Habaib yang ikut terjaring. Ternyata dari puluhan santri yang kena ta’zir dua orang habib yang ikut terjaring oleh keamanan pihak  justru menghebohkan suasana penta’ziran pada malam kali ini. Masalahnya sudah menjadi rahasia umum kalau Habib di pondok itu kebal ta’zir. Walaupun demikian, proses penta’ziran tetap dilaksanakan tanpa pandang bulu. Bagi mereka yang melanggar aturan tetap di hukum siapa pun orannya.
Menjelang eksekusi kepala pondok maju ke depan, sedikit memberikan arahan dan nasihat kepada hadirin dan para santri terbukti melanggar.
“Ini adalah pelajaran bagi kalian, kami berharap kalian bisa mengambil hikmah dari semuanya.”(H.P.T.C, 2010: 78)
Selanjutnya proses eksekusipun berlangsug di depan masjid pondok. satu- persatu para santri yang melanggar dipangkas rambutnya begitu saja oleh para eksekutor. Namun ketika giliran dua Habib yang akan dihukum, Habib Haedar tiba-tiba muncul dengan suara terikan menghentikan sejenak proses eksekusi.
“Apakah kalian akan menyakiti Nabi, dengan menghukum saudarku ini, Habib Hasan dan Habib Hilmy!” Habib Haedar merebut gunting dari tangan Ustadz Faisol yang menjadi eksekutor.”(H.P.T.C, 2010: 79)
Pada kutipan diatas, Gus Haedar dengan lantangnya menghentikan proses penta’ziran karna dia berpendapat bahwa menghukum dan mempermalukan para habaib di depan umum sama halnya dengan mempermalukan dan menyakiti Rasulullah.
“Ana Haedar mubarok menjamin pada mala mini tidak ada hokum gundul untuk dua saudaraku. Ketegasan suaranya semakin mencengkeram suasana. Dihadapan para ustadz dan para santri Gus Haedar memaparkan berbagai dalil dan hadits tentang etika penghormatan terhadap Habaib.”(H.P.T.C, 2010: 80)
Seketika itu pula para ustadz dan kepala pondok tidak berani menyangkal perkataan Habib Haedar karna takut kualat (kena imbas). Apalagi di dalam pemahaman mereka telah terbentuk sebuah anggapan bahwa doa-doa golongan Gus atau Habaib itu mustajabah.
Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa menghukum atau mempermalukan Habaib sama halnya dengan menyakiti Rasulullah, oleh karena itu Habaib harus diperlakukan istimewa dan dihomati.
c.            Habib haedar sebagai sosok yang cerdas, yang dilematis dan panutan Habaib muda di pondok.
Semakin dihormati saja keberadaan Habib Haedar. Loyalitas dan penghormatan yang diberikan Habib-habib lain semakin mengukuhkan Habib Haedar disegani semua kalangan. Pernah suatu ketika Mbah Yai memberikan pengajian kitab Fathul Mu’in rutin ba’da Shubuh, melihat juga Mbah Yai meminta waktu sebentar kepada Habib Haedar langsung membaca do’a dengan fasihnya. Semua mengamini dengan rasa ta’dhim dan khusu’ maka semakin melonjak saja ranting kemasyhuran Habib Haedar di seluruh jagat kesantrian. Hal ini digambarkan dalam kutipan novel berikut ini:
“Habib Haedar kadang terlihat bersama Mbah Yai di serambi pondok sedang berbincang-bincang, meskipun umur Habib Haedar relatip muda, namun intelektualitas dan kemampuan cara berfikirnya membuat orang tak bisa hanya memandang sebelah mata. Kadang HabibbHaedar menjadi tempat konsultasi, musyawarah pada Habib lain untuk sebuah masalah yang tidak bisa dipecahkan mulai dari masalah Fiqih, Tasawuf, politik, tetek-bengek apa saja. Intinya, Habib Haedar diakui secara keilmuan dan keagamaan.” (H.p.t.c. 2010, 92)
Dari kutipan di atas,  Habib Haedar menyadari bahwa kini dirinya menjadi sorotan para santri, untuk itu dia harus bisa membawa diri kemana dan akan dibawa kemana umat ini. Semakin banyak tugas maka semakin perlu meningkatkan kualitas dan kapabilitasnya agar dapat menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.
4.2.2    Alur atau plot
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang berkesinambungan, antara peristiwa yang satu dengan yang lain saling berhubungan di dalam cerita. Hal ini sejalan dengan pendapat M. Saleh Saad (1990: 80) yang mengatakan, bahwa “Alur atau Plot bukan sekedar urutan dari dari a sampai z saja , melainkan lebih merupakan sebab-akibat antara peritiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya dalam suatu cerita rekaan”. Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan, bahwa alur atau plot merupakan struktur sambung-sinambungnya aksi atau sederetan peristiwa berdasarkan sebab akibat yang pada umumnya dimulai tahap pemunculan, melalui pertengahan dan dan peralihan pada akhir cerita.
Berangkat dari pendapat diatas maka alur yang digunakan dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni adalah alur lurus (datar) atau istilah lainnya yaitu alur maju, karena peristiwa atau kejadian-kejadian diceritakan secara kronologis mulai dari tahap awal, tengah dan akhir. pada tahap awal diceritakan identitas masing-masing tokoh dan kondisi lingkungan pesantren yang harum dengan rutinitas santri yang beragam.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Sementara suasana warung yang tadinya berjubel, kini setelah kedatangan Gus Haedar apalagi ada Habib Umar yang sedari tadi makan, suasana menjadi berubah, sepi. Sebab beliu-beliu ini: Habib Umar dan Gus Haedar, adalah sosok orang yang di“istimewakan” di lingkungan pondok.” (H.P.T.C, 2010: 16)
Kemudian pada pertengahan cerita dilanjutkan ceritanya dengan memunculkan beberapa konflik antar tokoh, konflik pertama yaitu ketegangan bercampur khawatiran yang dirasakan oleh pengurus pondok atas tindakan Gus Haedar yang dengan tiba-tiba dan dengan lantangnya menyuruh para eksekutor  pondok untuk menghentikan penta’ziran bagi temannya, karena kalau dilanjutkan akibatnya akan buruk bagi  eksekutor dan timnya. Sebab orang yang akan dita’zir adalah orang yang terhormat dan berwibawa, serta diistemewakan dikalangan santri. Berikut kutipannya:
“Kenapa? Apa yang salah dengan kami? ujar Kepala Pondok sedikit membela. Membelah keheningan.
“Apakah kalian tak mengenal para Habib disini? Mereka yang telah banyak menebarkan barokahnya dipondok ini. Merekalah yang telah menjadikan kalian berguna! Doa-doa merekalah yang telah mengantarkan doa-doa kalian. Menghukum dan mempermalukan para Habib di depan umum, sama saja kalian telah mempermalukan dan menyakiti Rasulullah…” (H.P.T.C, 2010: 79)
Kemudian dilanjutkan pernyataan Gus Haedar dengan tegasnya.
“ Ana, Haedar Mubarrok menjamin pada malam ini tidak ada hukum gundul untuk  dua saudaraku”  (H.P.T.C, 2010: 80)
Setelah                 itu dihadapan para Ustadz dan Santri, Gus Haedar memaparkan berbagai dalil dan hadits tentang etika penghormatan terhadap Habib, seketika itu pula para ustadz termasuk kepala pondok hanya diam membisu, tak berani menyangkal ataupun mendebat perkataan Gus Haedar.
Selanjutnya dimunculkan konflik yang kedua dalam ceritanya, ketika para Ustadz dan santri mengetahui Habib Haedar menjalin hubungan asmara dengan Umi Layla Al-Jufri. Berbagai macam persfektif dikalangan para Ustadz dan santripun bermunculan. Sebagian memuji hubungan Habib Haedar dengan Umi Layla, namun tak sedikit yang merasa iri. Dikatakan bahwa Habib Haedar sengaja mendirikan Jamaah Habaib tak lain hanya bertujuan mendapatkan Umi Layla.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Apa tidak sebaiknya sampeyan menjelaskan di pengajian,” Aku mencoba memberikan alternatif untuk meredam kabar yang menerjang Habib Haedar.
“ Ha ha ha…kalau begitu nt sama-sama bahlul Akhi,”
“Apakah berdosa laki-laki mencintai seorang wanita? Biarkan saja…nanti juga bosan sendiri..” Habib Haedar kelihatan santai menanggapi kabar miring itu. Aku sependapat dengan Habib Haedar, memang tidak ada yang salah dengan Habib Haedar ataupun Umi Layla. Pertemuan di jama’ah waktu itu hanyalah pintu pertama yang mempertemukan mereka berdua, dan itu bukan hasil rekayasa. (H.P.T.C, 2010: 150)
Hari demi hari terus berlalu, kisah cinta Habib Haedar dengan Umi Layla yang terus berbunga sampai juga di telinga Mbah Yai sebagai pimpinan pondok. Namun bagi Habib Haedar tak ada masalah, karena baginya dia adalah laki-laki yang beruntung mendapatkan tempat di hati Umi Layla. Tambatan hati Umi Layla ini pun lama-kelamaan posisinya tercium juga oleh Habib Aly bin Husaen Al-Jufri yang sebelum berhubungan dengan Habib Haedar, dia terlebih dahulu mencintainya.
Rasa cemburu dan kecewa Habib Aly bin Husaen pada Habib Haedar mengundang emosi, ketika mendengar imformasi orang yang dicintainya akan dilamar oleh Haedar. Dia berusaha dengan sekemampuannya untuk mengagalkan acara lamaran dengan membesarkan isu bahwa silsilah Nasab Habib Haedar masih kabur, ada indikasi kalau Habib Haedar memanfaatkan predikat Habib agar bisa dekat dan mempersunting Umi Layla.
Kemudian pada tahap akhir cerita Habib Haedar merasakan kekecewaan yang luar biasa pada keluarga Umi Layla yang menunda jawaban atas lamaran yang telah diajukannya, tetapi Habib Haedar tidak pernah mengeluh bahkan dia bersikeras ingin mempersunting Umi Layla serta siap menanggung resiko.
Akan tetapi keaadaan berkata lain, Habib Haedar yang tadi ingin mempersunting Umi Layla, justru sebaliknya. dia lebih dahulu ketahuan kalau selama ini dia menyembunyikan identitasnya dan berbohong pada semua orang, setelah diadakan penelusuran oleh dua orang detektif yaitu ustazd faisol dan Ustadz Ali tidak ditemukan Nasab atas dirinya. Dan pada akhirnya dia menghilang entah kemana malu datang kepondok setelah kejadian itu. Dirinya menghilang begitu saja tanpa kabar, membawa malu dan kecewa yang luar biasa.
Berikut kutipannya:
“Anda bohong! Nama kamu haedar mubarrok, dan kamu bukan keturunan habib!” nada Ustazd Ali langsug meninggi.
“istigfar Akhi jangan menyebar fitnah!” suara Habib Haedar pun tak kalah meninggi.
“kalau memang anda Habib, darimana anda bisa mempertanggung jawabkan silsilahnya. Sementara Robithoh Alawiyyin Jakarta saja meragukan silsilah anda, Haedar!” Ustazd Ali semakin gencar melontarkan pertanyaannya.
“Iya! Robithoh tidak menemukan Nasab anda! Bahkan langsung bisa menebak kalau anda telah mencemarkan nama baik bangsa Asseggaf . penyelidikan Robithoh tidak mungkin meleset.” Ustazd Faisol menimpali pertanyaan sebelum Habib Haedar menjawab pertanyaan Ustazd Ali. (H.P.T.C, 2010: 214)
4.2.3    Latar atau Setting
Latar atau Setting yang merupakan salah satu unsur cerita yang juga penting karena dengan adanya latar, gambaran mengenai kejadian atau peristiwa akan menjadi lebih kongkrit(Sumarjo,1986:58). Peristiwa yang terjadi digambarkan dengan jelas mengenai lingkungan sosial, waktu dan tempat cerita itu berlangsung.
Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni ini terdapat beberapa latar/setting yang dimunculkan dan dilalui oleh para tokoh dalam cerita.
1.            Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada pada lokasi terjadinya  peristiwa yagn diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu atau inisial tertentu, mungkin nama lokasi tertentu. Nama tempat yang dimaksudkan adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya latar tempat yang disebutkan adalah sebuah Warung Koprasi Pondok, Madarasah, Masjid, Bioskop dan sebuah Rumah. Untuk memperjelas latar tempat pada novel “Habib Palsu tersandung cinta” karya Ubay Baequni“  berikut kutipannya:
“Sekitar jam tiga sore Aku dan Habib Umar sedang asyik-asyiknya makan siang diwarunng koprasi pondok. Suasana diwarung lumayan ramai, banyak santri yang sedang makan dan ada juga santri sambil minum kopi. Tiba-tiba dating Gus Haedar, Ia berdiri tepat disampingku. Kemudian tanpa komando santri-santri lain membubarkan diri satu persatu. (H.P.T.C, 2010: 15)
Dalam kutipan novel di atas, digambarkan suatu peristiwa yang dirasakan oleh tokoh “Aku” ketika melihat temannya datang langsung santri-santri yang tadinya ramai, berjubel mendadak sepi setelah kedatangan Gus Haedar. Mereka merasa sungkan (Segan) pada Gus Haedar yang tidak dapat tempat duduk. Maklum predikat Gus sangat diistimewakan di pondok.
Kutipan di atas merupakan penggambaran tempat atau lokasi yang dilalui oleh tokoh Aku yaitu di sebuah warung koprasi pondok  yang ramai dengan para santri yang sedang makan dan ada juga yang sekedar minum kopi dan tiba-tiba menjadi sepi setelah kedatangan Gus Haedar. biasanya warung koprasi pondok ramai pada waktu pagi, siang  dan sore hari.
Kemudian diceritakan bahwa Gus Haedar dan teman-temannya pergi ke sebuah bioskop untuk menonton film Jet Lee. Film ini merupakan film yang banyak digemari para remaja seusianya. Mereka nekat meninggalkan aktivitas pondok demi nonton film kesayangannya. Fenomena ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Kami bertiga dengan khusyu’ menikmati setiap adegan film. Gus Haedar keliahatan tak banyak bicara, hanya sesekali terdengar Habib Umar nyletuk ..kheer .. setiap kali tokoh Jet Lee memperagakan jurusnya. Setelah dua jam, layar bioskop pun perlahan-lahan menyembulkan tulisan THE END, yang menandakan film telah selesai.”(H.P.T.C, 2010: 26)
Pada kutipan di atas,  pengarang menceritakan bahwa Habib Haedar dan temannya berani meninggalkan kegiatan pondok demi menonton film kesayangannya yaitu film Jet Lee di bioskop,tanpa menghiraukan aturan yang berlaku.
Rutinitas  pondok yang berupa shalat berjama’ah bagi santri wajib dilaksanakan, seperti yang digambarkan pada kutipan berikut ini.
“Waktu adzan magrip pun berkumandang para santri berbondong-bondong ke masjid, ada yang masih sibuk berwudhu sambil menunggu antrian dan sebagian melapalkan pujian-pujian dimasjid menunggu Mbah Yai datang. Setelah shalat magrib para santri kembali disibukkan dengan tadarus Al-Quran di masjid.” (H.P.T.C, 2010: 28)
Kegitan shalat berjamaah dan tadarus Al-Qur’an seolah-olah menjadi menu wajib setiap datangnya waktu shalat bagi para santri di pondok. Para ustadz dan santri bersama-sama melaksanakan shalat berjama’ah setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan tadarus Al-Qur’an.
2.            Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Selanjutnya dalam novel “Habib Palsu tersandung cinta” karya Ubay Baequni diceritakan setiap malam jumat digelar ta’zir masal. Adapun sasaran ta’zir kini yaitu para santri yang melanggar aturan pondok. Berikut kutipannya:
“Malam jum’at kali ini aku mendengar beberapa santri yang kena ta’zir karma nonton konser grup musik dewa di alun-alun kota, jaraknya lima kilo lebih dari konflek pesantren.” (H.P.T.C, 2010: 76)
Dari kutipan di atas pengarang menggambarkan waktu terjdinya peristiwa ta’zir masal pada waktu malam hari selesai berzanji di depan Masjid pondok, dan yang mendapat ta’zir (hukuman)  adalah santri-santri yang melanggar aturan pondok.
3.            Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan nilai-nilai yang tergolong latar spiritual.
Dalam novel Habib Palsu Tersandung Cinta karya Ubay Baequni terdapat latar sosial yang berhubungan dengan tradisi penghormatan terhadap Gus atau Habaib di lingkungan pesantren. Hal ini digambarkan pada kutipan novel berikut:
“ Ana Haedar Mubarok menjamin pada malam ini tidak ada hokum gundul untuk kedua saudaraku.! Ketegasan suaranya semakin mencengkram suasana dihadapan para ustadz dan santri, gus haedar memaparkan berbagai dalil dan hadis tentang etika penghormatan kepada habib.” (H.P.T.C, 2010: 80)
Dari kutipan tersebut di atas pengarang menggambarkan suasana ta’zir masal yang digelar begitu menegangkan. Pasalnya baru pertama kali ada santri yang berani membantah dan menghentikan ta’zir yang digelar setiap malam jum’at. Ketegasan Gus Haedar begitu terasa dimata para santri yang hadir di masjid tempat dilaksanakanya prosesi penta’ziran.
4.2.4    Penokohan atau Perwatakan
Dalam karya fiksi, pengarang menampilkan tokoh dan karakter tokohnya dengan teknik langsung dan tidak langsung. Pengarang menampilkan karakter tokoh dalam cerita konsisten dengan menggunakan teknik langsung, namun demikian tentunya tergantung juga pada tujuan cerita dan banyak juga tergantung pada ruang lingkup masalah yang disampaikan. Broks dan Warren mengemukakan bahwa penampilan karakter dapat dilakukan dengan teknik dramtik melalui dialog dan Kisi/ gerak (1959: 169).
Sejalan dengan  pendapat di atas, dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni pengarang menampilkan tokoh Habib Haedar, Gus Fauzi, Habib Umar, Mbah Yai, Ustadz Imran, Ustadz Solihin, Ustadz Faisol dan Umi Layla. Untuk memahami  sebuah cerita, peranan dan funsi tokoh sangat penting hal yang menyangkut kronologis peristiwa serta permasalahan yang timbul dan diselesaikan  oleh tokoh-tokoh yang disebutkan.
Penggambaran watak tokoh cerita dilukiskan secara teknik analitik dan dramatik. Ada empat tokoh yang menjadi fokus analisis yaitu:
1.            Habib Haedar
Habib Haedar sebagai tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh yang cerdas dan berbakat, mudah bergaul, dan berwibawa serta panutan para Habaib muda. Pergaulannya yang ekslusif membuat dirinya bersinar bagai mutiara.
“Dikalangan Habaib, Habib Haedar didengkot yang dijadikan panutan hampir semua Habaib muda. Setiap kali Habib Haeadar mengunjungi kamar-kamar dengan serta merta mereka langsung memintakan do’a. atau ketika Habib Haedar terlihat  sedang jalan-jalan disekitar konflek, banyak yang menyapanya.” (H.P.T.C, 2010: 89)
Dari kutipan di atas, pengarang menggambarkan betapa  berwibawa dan istemewanya Habib Haedar dipandangan para santri. Dia dipandang istimewa karena kecerdasannya melebihi santri biasa dipondok. Intelektual dan pergaulannya yang luas membuat dirinya berbeda dengan santri-santri yang lain.
Disamping itu juga Habib Haedar merupakan tokoh yang tegas dan pemberani. Habib Haedar dengan lantangnya menghentikan acara  penta’ziran yang dilakukan oleh pengurus pondok.   Berikut kutipannya:
“Tunggu…!” suara itu melengking ditengah hiruk pikuk keramaian. Aku sepertinya akrab dengan pemilik suara itu, aku langsung masuk menerobos masuk kebarisan depan. Jadi penasaran siapa gerangan yang menghentikan para Ustadz. Semua mata tertuju pada satu sosok didepan yang baru saja melontarkan suara lantang. Ternyata Gus Haedar, yah…tak salah lagi, ia memang Gus Haedar yang kukenal. Sedang apa dia? Dan mau apa dia?
“Apakah kalian akan menyakiti nabi, dengan menghukum saudaraku ini, Habib Hasan dan Habib Hilmy!” Gus Haedar merebut gunting dari tangan Ustazd Faisol, yang menjadi eksekutor.” (H.P.T.C, 2010: 79)
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa sang Habib tidak pernah takut berhadapan dengan siapapun kalau posisinya benar. Tak terkecuali para pengurus pondok  dan para eksekutor. Keberaniannya menghentikan ta’zir sentak membuat bingung dan para santri dan pengurus pondok. Pasalnya baru kali ini ada santri yang dengan lantangnya membatalkan ta’zir dan berani mempermalukan para pengurus pondok.
2.            Tokoh Aku
Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni ini tokoh Aku digambarkan sebagai sosok yang sederhana dan berbudi pekerti yang luhur, jujur dan tidak sombong. Berikut kutipannya.“Dan Aku merasa bahagia dengan kesederhanaanku ini, meskipun aku agak iri dengan teman sekamarku yang serba berkecukupan.” (H.P.T.C, 2010: 72)
Dari kutipan tersebut diatas, tokoh Aku tetap bersyukur atas apa yang telah diberikan tuhan kepadanya, selalu pasrah kepada tuhan atas keadaanyang dialaminya. Baginya kemiskinan bukanlah halangan untuk bisa meraih kesuksesan.
Selanjutnya tokoh Aku juga digambarkan sebagai sosok yang rajin dan kreatif dalam sastra. Berikut kutipannya.”Lumayan rek, Aku dapat juara pertama untuk lomba baca puisi sepondok. Aku senang bukan main, sementara teater yang kubawakan bersama teman-teman sekamar hanya menempati juara tiga, tidak apa-apa, yang penting ” membentang kreatifitas tampa batas”, itulah sebaris kalimat motivator yang menempel di dinding kusam kamar kami.” (H.P.T.C, 2010: 43)
Pada kutipan diatas, pengarang menggambarkan sosok ”Aku” yang rajin dan terus mengasah kemampuan untuk bisa berkarya.
3.            Umi Layla
Tokoh Umi Layla pada novel, “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni meggambarkan sosok yang cantik, cerdas, keturunan  terhormat (Habib) dan dambaan Habib muda yang pernah mengenalnya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut: “Menurutku memang pantas Habib Haedar mendapatkan Umi Layla; cakap, kapasitas keilmuannya teruji. Kadang yang membuat iri santri-santri mungkin kecantikan Umi Layla. Bagiku sosok Umi Layla sosok bidadari yang tertinggal di bumi. Dan Siapa pun yang mendampinginya bagaikan mendapat rizqi yang tak   terkira.”  (H.P.T.C, 2010: 161)
Pada kutipan di atas, pengarang menggambarkan tokoh Umi Layla yang cantik menawan bagai bidadari yang turun dari kayangan yang tertinggal di bumi yaitu ketika tokoh Abdul Ghoni memuji kelebihan yang dimiliki Umi Layla. Di samping itu juga, Ia sosok yang cerdas dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Seperti yang disebutkan oleh tokoh “Aku” di atas.
4.            Ustadz Ali
Dalam novel, “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni, tokoh  Ustadz Ali digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan penuh tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. “Sampeyan bawa pengurus lain, pergi ke alamat Habib Haedar di Surabaya. Jangan terkesan mengintrogasi atau apalah, yang penting tahu kebenaran asal-usul Habib Haedar ok?” begitu Ustadz Ali memberi tugas pada Ustadz Faisol.
”Berapa hari nih Bos?” Tanya Ustadz Faisol.
“Terserah, yang penting sampeyan kembali ke Pondok sudah dapat informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” ujar Ustadz Ali. Sebagai kepala pondok Ustadz Ali bertanggung jawab terhadap anak buahnya, segala intruksi dan peraturannya.  (H.P.T.C, 2010: 200)
Pada kutipan di atas, Ustadz Ali digambarkan sebagai tokoh yang memiliki kapabilitas yang tinggi  diantara pengurus pondok yang lain. Ia termasuk orang yang paling dihormati oleh pengurus dan para santri. Ia tidak pernah takut dalam menghadapi sebesar apapun masalah yang dihadapi, Ia selalu bertanggung jawab atas amanat serta tugas yang diberikan kepadanya. Ustadz Ali merupkan sosok yang disiplin bijaksana dalam megurus pondok.
4.2.5    Sudut Pandang/Poin Of  View
Dalam novel “Habib Palsu Tersandug Cinta” Karya Ubay Baequni ini, pengarang  menggunakan sudut pandang  campuran  yaitu  antara   gaya “Aku” dan “Dia” sehingga alur ceritanya menarik dan  kandungan mengusik  kejumudan para  pembaca.
Adapun sudut  pandang  orang  pertama    yanga biasanya  meenggunakan gaya  “Aku” dapat   di lihat pada kutipan berikut ini:
“Mungkin aku termsuk orang yang paling beruntung  se-pondok  ini, karena Gus Haedar, Gus Fauzi  dan Habib Umar  sangat dekat dengan. Padahal Aku santri biasa, artinya bukan dari kalangan keluarga seperti mereka hanya saja kebetulan bareng mereka “nyantri” di pesantren.”  (H.P.T.C, 2010: 16)
Sedangkan sudut pandang orang ketiga yang biasanya menggunakan dia ggaya dia terlihat pada  kutipan berkut ini:
“Aku segera pergi meningalkan habib haedar, ia semakin husyu’ dengan kesendiriannya. Dari kejauhan terlihat beberapa kali  mendongakkan kepala, entah apa yang sedang dilakukannya. Mungkin sedang berdialog dengan tuhan, pikirku.” (H.P.T.C, 2010: 112)
Dengan   demikian dari kutipan   diatas  terlihat  jelas bahwa  sudut pandang yang  digunkan dalam novel  ”Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni adalah sudut panndang canpuran karena dalam  ceritanya pengarang ikut serta mendampingi tokoh utama, berperan sebagai pelaku bawahan.
4.2.6    Gaya Bahasa
Unsur-unsur bahasa yang dapat membangun atau menciptakan teknik bercerita yang khas dinamakan gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan pengarang untuk membangun jalinan cerita dengan memiliki diksi, ungkapan, majas (kiasan) dan sebagainya. Dengan halnya dengan Novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” menggunakan beberapa gaya bahasa. Antara lain:
a.            Hiperbola
Gaya bahasa ini merupakan gaya bahasa yang melukiskan suatua benda, hal atau peristiwa dengan cara yang berlebih-lebihan. Seperti terlihat pada kutipan sebagai beikut:
“Jam satu siang, sengatan matahari menjilat-jilat lantai bumi. Keringat bercucuran dari dahi Ustadz Faisol. Suasana terminal Bungurasih semakin panas, berjejal-jejal manusia berdasarkan dengan keringat dan bau solar”  (H.P.T.C, 2010: 201)
Dari kutipan tersebut, pengarang melukiskan suatu keadaan yang sangat panas, di bawah terik panas matahari dan disela-sela keramaian terminal Bungurasih, Ustadz Faisol menunggu Angkutan umum yang akan membawanya ke tempat tujuan. dalam hal ini, pengarang melukiskan keadaan atau suasana yang belebih-lebihan.
b.            Metafora
Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan sesuatu (manusia) dengan yang lain atau hewan untuk menunjukkan persamaan sikap perilakunya, dengan cara memindahkan Sifat-sifatnya. Perhatikan kutipan berikut:
“Malam pun terkulai, bintang-bintang serentak menjatuhkan gemerlap sinarnya di ujung kota Surabaya. Nafaz kedua Ustadz itu saling bergantian bersahut-sahutan, susul-menyusul dengan bintang malam” (H.P.T.C, 2010: 209)
Dari kutipan di atas, pengarang menggambarkan persamaan nafas manusia denga bintang malam yang saling bersahutan dalam ceritanya.
c.             Personifiaksi
Gaya bahasa ini merupakan gaya bahasa yang tujuannya menegaskan suatu lukisan dengan membuat benda mati menjadi hidup perhatiakan kutipan sebagai berikut:
“Teriakan lantang dari mulut calo bus tumpang-tindih dengan deru mesin menjerit-jerit kepanasan”  (H.P.T.C, 2010: 209)
Pada kutipan di atas, pengarang sangat lihai mengumpamakan mesin yang berputar menjerit-jerit suaranya seperti halnya manusia
4.3      Aspek Budaya Dalam Novel “ Habib Palsu Tersandung  Cinta” Karya   Ubay  Baequni.
4.3.1    Tradisi dan Adat Istiadat
Karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa seseorang tentang kehidupan, peristiwa serta pengalaman hidup. Sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan budaya artinya karya sastra tersebut ditulis berdasarkan kehidupan yang kental dengan tradisi dan adat-istiadat tertentu yang menceritakan kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Aspek budaya yang muncul dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni adalah keadaan tokoh di tengah masyarakat  pesantren yang memiliki budaya spritual yang tinggi.  Hal ini bisa dilihat dari rutinitas program yamg dijalankan seperti mengaji Al-Quran, mempelajari dan mengkaji kitab-kitab ulama salaf (terdahulu), barzanji, berkumpul dan ber-muzakkarah di Majelis Ta’lim, musyawarah dan shalat berjamaah. Program tersebut merupakan ciri khas dan termasuk bagian  dari budaya masyarakat pesantren. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Sampai dikamar, aku melihat jadwal pelajaran. Kemudian membawa kitab Fathul Qorieb dan dua buku tulis, untuk jadwal hari ini. Selesai salat berjama’ah aku bersama teman sekelas menuju ruang belajar, seperti biasanya.” (H.P.T.C, 2010: 86)
Masyarakat pesantren pada umumnya sangat menjunjung tinggi nilai spiritual dan etika pergaulan yang islami. Karena Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk selalu bertaqwa kepada Tuhan (Allah).  Agar selamat di dunia  dan akhirat. Dalam melakukan spritual tentunya harus dilandasi  dengan ilmu dan iman yang kuat sehingga segala bentuk amal ibadah  dapat  diterima dan mendapatkan ridha Allah SWT.
Disamping itu juga, etika, moral islami dalam pergaulan sehari-hari menjadi catatan penting dalam membangun hubungan antar sesama manusia (hablum minannas) dengan senantiasa menghargai, menghormati, dan menyayangi antarsesama, sehingga terciptanya masyarakat yang aman, damai dan sejahtera lahir maupun batin.
4.3.2    Sistem Kekeluargaan
Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni ini melukiskan fenomena-fenomena pergaulan, kaum muda yang sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Merupakan kegiatan yang tidak asing lagi di mata kaum muda di zaman modern sekarang ini, bahkan ada sebagian anak muda yang senang menghabiskan waktu nonton di bioskop dan kafe-kafe hanya sekedar mencari hiburan semata.
Namun, fenomena-fenomena ini akan terlihat asing ketika budaya semacam ini merasuki santri muda yang notabene kental dengan nilai spiritual dan agama. Penilaian masyarakat terhadap kebiasaan-kebiasaan (budaya) tersebut tentu memberikan tanda tanya yang besar. Pasalnya, santri di pesantren selalu diberikan pengarahan oleh para Asatidz agar senantiasa menghargai waktu. Pepatah ulama mengatakan “waktu ibarat pedang” apabila seseorang tidak menghargai waktu, maka pedang itu akan memenggal/memotong lehernya, dengan kata lain, orang tersebut akan ditinggal oleh waktu.  Karena waktu itu sangat berharga bagi orang-oarang yang berakal (berfikir).
Negatif memang seandainya budaya semacam ini ada di pesantren. Tetapi, ada pula nilai positifnya budaya semacam ini justru dapat mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka. Karena dengan sering berkumpul dapat mengkukuhkan tali Silaturrahim dan nilai persahabatan menjadi lebih kental. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan novel berikut ini:
“Kami biasa ngobrol sambil nubruk wuih…..nikmat coy! Sampai menjelang tengah malam, hamper tiap hari begitu, Cuma kalau pergi libur pada malam Jum’at biasanya punya kesempatan ngobrol-ngobrol sampai menjelang waktu Shubuh. Gus haedar sering modalin gula,  Gus Fauzi tehnya. Sedangkan aku meyediakan air panas kemudian menyuguhkan sambil ikut-ikutan nyripit.” (H.P.T.C, 2010: 17)
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa sistem kekeluargaan yang ada novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubai Baequni dilukiskan dengan adanya sekelompok remaja yang sedang berkumpul untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
4.3.3    Budaya Lamaran dalam Perkawinan
Dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni menggambarkan bahwa tokoh Habib Haedar berusaha mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat mempersunting Umi Layla Al-Jufri. Namun, usaha pun itu gagal ketika Habib Haedar akan melamar kekasihnya itu. Lamaran yang akan diajukannya ditolak oleh pihak kelurga Umi Layla. Karena nasab atau keturunan yang tidak jelas  (masih diragukan). Habib Haedar tidak mampu menunjukkan bukti kebenaran dan keabsahan silsilahnya. Predikat Habib yang di gelarnya oleh keluarga Umi Layla dianggap palsu, karena tidak ada jalur silsilah yang sesuai dengan pengakuannya. Peristiwa semacam ini terlihat pada kutipan berikut:
“Secara mengejutkan pula dari pertama hingga yang ketiga silsilah itu ditulis Habib Haedar berbeda-beda pula. Terakhir habib haedar menulis nasabnya: Haedar Mubarok bin Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Assegaf. Merasa janggal dengan perbedaan nama-nama silsilah yang tertera, keluarga umi layla menelusuri kebenaran nasab tersebut di Rhobithoh Alawiyyin jakarta. Dengan tetap merujuk pada nama pertama yang diberikan Habib haedar, pihak keluarga Umi Layla terus meneliti kebenaran silsilah tersebut.”(H.P.T.C, 2010:194)
Keluarga Umi Layla merupakan keluraga yang terhoramat, dan merupakan keturunan Habaib. Memang tidaklah salah sekiranya orang tua mencari dan memilihkan calon yang terbaik buat anaknya. Dalam memilih calon suaminya harus memiliki empat kreteria yang meliputi keturunan, orang baik-baik, memiliki materi yang cukup, gagah (ganteng), Agamanya kuat dan baik akhlaknya. Hal ini, memang sesuai dengan konsep dan tuntunan Islam.
Dalam cerita novel ini, memang gambaran tentang budaya yang ada di Jawa yang khususnya dari kalangan Gus atau Habib yang identik sekali dengan budaya timur. Misalnya dalam proses Lamaran, Akad nikah, dan budaya persiapan sebelum nikah.
Tokoh Habib Haedar harus melalui proses atau adat-istiadat yang ada pada kelurga Umi Layla Al-jufri. Seorang laki-laki yang apabila ingin menikahi wanita yang cocok dengan pendamping hidupnyasebelum melamr harus Ta’aruf dan berkunjung ke rumah (silaturrahmi) wanita yang akan dilamarnya. Seandainya wanita itu sudah di Khitbah oleh orang lain maka tidak boleh ada Khitbah lagi apalagi dilamar. Setelah proses itu selasai, maka barulah boleh datang seorang laki yang kedua kalinya bersama orang tua untuk meminang atau melamar gadis pilihannya. Setelah proses lamaran itu selasai maka, berlanjut pada acara Akad nikah yang sesuai dengan Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi perkawinan yang disebutkan dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni   merupakan warisan budaya Timur yang berkembang di Nusantara khususnya di jawa.
4.3.4    Tradisi penghormatan terhadap Gus atau Habib
Dalam novel Habib Palsu Tersandung Cinta karya Ubay Baequni ini menceritakan tentang kehidupan para santri di lingkungan pondok pesantren. Para santri yang terdiri dari berbagai golongan antara lain: golongan santri biasa, golongan Gus,  dan golongan Habib. Para santri yang memiliki predikat Gus dan Habib diberikan perlakuan yang istimewa di pondok. Berikut ini kutipan novel yang menjelaskan keistimewaan Gus dan Habib.
“Habib Umar dan Gus Haedar adalah sosok orang-orang yang diistimewakan di lingkungan pondok. Maklum saja, predikat Gus dan Habib di pondok jemang sangat llain dari pada yang lain. Maksudnya, seorang yang dipanggil dengan sebutan Gus biasanya anak Kyai yang punya pesantren besar dan berpengaruh. Sedangkan Habib adalah seorang yang masih ada hubungan darah dengan baginda yang mulia Muhammad SAW. (H. P. T. C, 2010: 16).
Dari kutipan novel di atas, pengarang menjelaskan bahwa seorang yang dipanggil dengan sebutan Gus atau Habib bukanlah orang-orang yang biasa, melainkan mereka itu adalah golongan orang-orang yang terhormat dan mulia. Mereka yang dianggap memiliki kearifan lokal oleh masyarakat pesantren. Apabila orang salah memperlakukan Gus atau Habib, maka orang tersebut akan kena kualat, hidupnya tidak akan tenang sebelum meminta maaf kepadanya. Peristiwa ini digambarkan pada kutipan novel berikut:
“Ana, Haedar Mubarok menjamin pada malam ini tidak ada hukum gindul unutk dua saudaraku. Krbagai etegasan suaranya semakin mencengkeram. Dihadapan para Ustadz dan Santri, Gus Haedar memaparkan berbagai dalil dan hadits tentang etika penghormatan terhadap Habaib. Berbalut jubah putih dan kopiah putih, Gus Haedar mempertegas pembatalan eksekusi malam ini uantuk dua orang Habab. Para Ustadz termasuk kepala pondok hanya diam membisu tak berani menyangkal atau pun mendebat perkataan Gus Haedar.” (H. P. T. C, 2010: 80).
Pada kutipan novel di atas, diceritakan bahwa ada dua orang Habib yang akan hukum gundul (Ta’zir) karena ketahuan malanggar peraturan pondok, namun ketika akan dihukum Gus Haedar membedla dan menghetikan ta’zir yang dilakukan pengurus pondok untuk dua orang Habib. Haedar berpendapat bahwa perlakuan pengurus pondok terhadap kaum Habib telah melewati batas Norma dan Etika. Seketika itu pula para ustadz dan pengurus pondok yang lain diam tanpa kata, meredka takut kualat seandainya mereka menyangkal. Memang sudah banyak kejadian yang membuktikan kalau salah meperlakukan Gus atau Habib, maka serentet sial akan mendatanginya. Apalagi di dalam pemahaman mereka telah terbentu anggapan bahwa doa-doa golongan Gus atau Habib mustajabah.
Selanjutnya dijelaskan pada kutipan yang lain:
“Apakah kalian tidak mengenal para Habib di sini? Mereka yang telah banyak menebarkan barokahnya di pondok ini.merekalah yang telah menjadikan kalian berguna! Doa-doa merekalah yang telah mengantarkan doa-doa kalian. Menghukum dan mempermalukan para Habib sama saja dengan mempermalukan dan menyakiti Rasulullah…..” (H. P. T. C, 2010: 79-80).
Pada kutipan di atas, seorang Habib harus diperlakukan istimewa seperti Rasulullah SAW.  beberapa kutipan di atas, maka jelaslah bahwa seorang yang memilki gelar atau panggilan Gus atau Habib di pondok harus dihormati, dihargai, dan diistimewakan karena mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mulia dan terpandang. Masyarakat pesantren juga memahami dan memiliki keyakinan bahwa golongan Gus atau Habib memiliki kearifan tersendiri dan doa-doa mereka mustajabah.
BAB V
PENUTUP
5.1    Simpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan, maka penulis menyimpulkan masalah sebagai berikut:
5.1.1 Struktur novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni dibangun atas unsur-unsur intrisik dan ekstrinsik. Unsur intrisik novel ini meliputi tema, alur, latar/setting, penokohan, sudut pandang dan gaya bahasa.
Tema dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni ini menceritakan perjuangan Habib muda yang cerdas dan berbakat dalam mempertahankan nasab dan cintannya yang berakhir dengan kekecewaan. Dengan tokoh utamanya habib Haedar Mubarok dan Umi Layla, didukung oleh okoh tambahan lainnya seperti tokoh Aku, Gus Fauzi, Habib Umar, Mbah Yai, Ustadz Imran, Ustadz Solihin, dan Ustadz Faisol. Cerita ini domianan setingnya dipondok dan masjid lingkungan pesantren. Secara umum pengarang mampu membangun cerita melalui unsur-unsur itu dalam kesatuan yang utuh sehingga cerita menarik dan mengusik kejumudan para pembaca.
5.1.2 Aspek budaya yang terungkap dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni dapat ditunjukkan melalui kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam novel ini ditemukan bebeapa aspek kebudayaan yang berkaitan dengan prilaku dan kebiasaan masyarakat yang terbntuk dalam adat istiadat, sistem kekeluargaan, budaya lamaran dalam perkawinan dan falsafah masyarakat tentang penghormatan terhadap Habaib.

PUTRI SAMA

Pada awalnya, orang bajo berasal dari Negeri Johor. Di negeri johor ada satu perkampungan yang dihuni oleh orang-ornag bajo. Mereka ...